Untuk mengoptimalkan peran BPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, diperlukan sinergi antara BPK dan Aparat Penegak Hukum (APH). Pemberian keterangan ahli dan penghitungan kerugian negara oleh BPK atas permintaan dari APH merupakan salah satu bentuk pelaksanaan sinergitas antara BPK dan APH. Demikian antara lain disampaikan Kepala Perwakilan (Kalan) Provinsi Jawa Barat (Jabar) BPK RI Slamet Kurniawan dalam acara Pertemuan BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat dengan Aparat Penegak Hukum se-Provinsi Jawa Barat. Acara bertema Sinergi Antara BPK RI dengan Aparat Penegak Hukum dalam rangka Mewujudkan Good Governance tersebut dilaksanakan di Auditorium Kantor Perwakilan Provinsi Jabar pada Selasa (20/12/11) lalu.
Selain Kalan Provinsi Jabar BPK RI Slamet Kurniawan, hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut adalah Kepala Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/ Daerah BPK RI Eledon Simanjutak. Adapun Kepala Sekretariat Perwakilan (Kasetlan) Provinsi Jabar BPK RI Walmin Purba menjadi moderator selama acara berlangsung. Acara itu sendiri melibatkan tamu undangan dari Kepolisian Daerah (Polda) Jabar. Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandung dan Kepolisian Resort (Polres) yang ada di wilayah Provinsi Jabar. Acara tersebut juga diikuti oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) se-Wilayah Provinsi Jabar.
Menurut Kalan Provinsi Jabar BPK RI Slamet Kurniawan, pertemuan BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat dengan APH se-Provinsi Jawa Barat ini bertujuan untuk membina hubungan profesional dengan Aparat Penegak Hukum, sehingga tercipta mekanisme kerja yang harmonis dalam rangka memperlancar proses penegakan hukum, terutama terkait hasil pemeriksaan BPK RI yang ditindaklanjuti oleh APH. “Diharapkan nantinya masing-masing pihak dapat memahami mekanisme yang berlaku di masing-masing instansi,” Kata Kalan Provinsi Jabar BPK RI. Kalan Provinsi Jabar BPK RI juga menjelaskan, selama ini BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat sering diminta melakukan penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli oleh APH, baik untuk kasus yang berasal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK maupun bukan berasal dari LHP BPK. “Namun karena keterbatasan jumlah pemeriksa atau bersamaan dengan sedang dilaksanakannya pemeriksaan, kadang permintaan tersebut tidak dapat segera ditindaklanjuti,” kata Kalan Provinsi Jabar BPK RI.
Sementara itu, Kepala Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/ Daerah BPK RI Eledon Simanjutak menjelaskan, BPK memang berwenang menghitung kerugian negara atas permintaan APH, seperti Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan agar permintaan perhitungan kerugian negara yang diajukan APH tersebut dapat dilaksanakan oleh BPK. “Pertama, kasus yang ada memang berkaitan dengan lingkup pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kedua, berdasarkan pemaparan/ekspose dari APH dan setelah dilakukan penelaahan atas pemaparan tersebut terdapat indikasi adanya kerugian negara. Dan yang ketiga, permintaan dilakukan pada tahap penyidikan, di mana data, dokumen, bukti-bukti serta perbuatan melawan hukumnya telah jelas sehingga unsur-unsur kerugian negara/daerah berindikasi telah terpenuhi,” kata Eledon Simanjutak.
Selain menjelaskan tentang penghitungan kerugian negara oleh BPK, Eledon Simanjutak juga memberikan penjelasan tentang Pemberian Keterangan Ahli oleh pejabat dan pelaksana BPK. Menurut Eledon Simanjutak, keterangan ahli adalah Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (suatu kasus pidana). “Pemohon Keterangan ahli oleh BPK ini bisa diajukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Badan Peradilan/Peradilan lain,” katanya. Pada kesempatan yang sama, Eledon Simanjutak juga menjelaskan tentang Pemantauan Tindak lanjut penanganan hasil pemeriksaan berindikasi tindak pidana yang disampaikan kepada APH. Menurutnya, selama ini masih terdapat beberapa kendala saat pemantauan tindak lanjut penanganan hasil pemeriksaan berindikasi pidana. “Penyebabnya antara lain adalah belum adanya mekanisme penyampaian temuan ke APH sebagai pelaksanaan MoU, terbatasnya informasi dengan alasan rahasia jabatan APH, serta terbatasnya informasi proses penanganan LHP BPK yang dilimpahkan oleh APH pusat ke APH daerah atau APH lainnya,” jelasnya.