Memasuki era baru, Inspektorat Utama (Itama) BPK RI memerlukan transisi dari peran sebagai “watchdog” menjadi consultant atau partner bagi satuan kerja. Dengan mengetahui peran, batasan kerja, serta hal-hal yang diperbolehkan ataupun dilarang, maka setiap pegawai yang ada di setiap unit kerja BPK RI akan lebih jelas dan mantap dalam melaksanakan pekerjaannya. Demikian antara lain disampaikan Inspektur Utama (Irtama) BPK RI Mahendro Sumarjo dalam acara Sosialisasi Reposisi Itama dan Sistem Penjaga Integritas dan Kontrol Resiko di Auditorium Kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat (Jabar) pada Jumat (04/11) lalu.
Acara yang dibuka secara resmi oleh Kepala Perwakilan (Kalan) Provinsi Jabar BPK RI Slamet Kurniawan tersebut diikuti oleh seluruh pejabat dan pegawai di lingkungan Kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar. Selain membuka secara resmi, Kalan Provinsi Jabar BPK RI juga memandu berlangsungnya acara sosialisasi sebagai moderator. Adapun sebagai pembicara, selain Irtama BPK RI, hadir pula Inspektur II BPK RI Bayu Sabarta. Inspektur Utama BPK RI Mahendro Sumarjo menjelaskan, selama ini Itama lebih banyak dipahami sebagai “anjing pengawas” yang tak jarang menciptakan perasaan negatif di kalangan para perawai BPK RI sendiri. Kini ada sebuah transisi peran Itama dari watchdog menjadi lebih kepada peran-peran consultant atau partner bagi setiap satuan kerja di BPK RI. “Ke depan, Itama mengedepankan peran konsultasi dalam pelaksanaan kegiatannya. Dalam perannya yang baru, Itama akan lebih memberi masukan perbaikan yang bersifat preventif seperti fraud control system, untuk mewujudkan tata kelola yang lebih baik di BPK RI,” kata Inspektur Utama BPK RI
Inspektur Utama BPK RI juga menjelaskan bahwa akan segera dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di BPK RI. “Adanya UPG ini akan mengatur dan mengendalikan praktik pemberian dan penerimaan hadiah untuk menjaga dan menciptakan independensi para pegawai BPK dalam bekerja,” kata Inspektur Utama BPK RI. Mempermudah penerapan mekanisme tentang pengendalian gratifikasi, Inspektur Utama BPK RI menyampaikan adanya akronim AMATI. AMATI menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan oleh setiap pegawai di BPK untuk meminimalkan resiko terjadinya persoalan berkaitan dengan gratifikasi kepada para pegawai di BPK RI, yaitu: 1) Mencermati Aturan terkait gratifikasi, 2) Mencoba memahami Maksud pemberi gratifikasi, 3) Mempelajari kemungkinan Agenda di balik pemberian gratifikasi, 4) Mencoba memahami apakah gratifikasi tersebut sah dan dilakukan secara Terbuka, dan 5) Mencermati Identitas dari pemberi gratifikasi.
Dalam acara yang sama, Inspektur II BPK RI Bayu Sabarta menyampaikan bahwa lingkungan kerja yang berintegritas dan beretika merupakan syarat utama tercapainya misi BPK RI. “Tanpa adanya integritas dan etika, pasti akan muncul banyak masalah yang muncul,” katanya. Inspektur II BPK RI Bayu Sabarta menjelaskan, sampai dengan bulan September 2011, telah ada 38 pemberian hukuman disiplin kepada para pegawai di BPK RI. “Total 38 hukuman ini terdiri dari 9 hukukam ringan, 12 hukuman sedang, dan 17 hukuman berat,” jelasnya.
Acara sosialisasi yang berlangsung sekitar empat jam tersebut diakhiri dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab tersebut, para peserta sosialisasi menanyakan beberapa hal, antara lain terkait batasan-batasan gratifikasi, pemberian sanksi, serta dampak penerimaan sanksi dan masa depan karir seorang pegawai di BPK RI. (Wans)