Satu Januari 2011 lalu, genap 64 tahun sudah usia Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Di usianya itu, lembaga negara ini makin giat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Salah satu langkahnya adalah dengan mulai membangun pengawasan dengan sistem e-audit. Yaitu, pengawasan melalui pusat data BPK yang menggabungkan data elektronik BPK (e-BPK) dengan data elektronik auditee atau pihak yang diperiksa oleh BPK –seperti kementerian negara, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan lain-lain.
Dengan sinergi data dengan pihak yang diperiksanya itu, nantinya BPK akan dapat melakukan perekaman, pengolahan, pertukaran, pemanfaatan dan monitoring data yang bersumber dari berbagai pihak, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara. “Konsep seperti ini kami sebut BPK sinergi,” kata Ketua BPK, Hadi Poernomo. Penajaman implementasi BPK Sinergi itu dilakukan melalui strategi link and match. Dimulai dari mengidentifikasi sumber informasi apa saja dari lembaga negara, kementerian, BUMN, BUMD dan lain-lain, yang diperlukankan BPK. Data dan informasi ini dapat berupa data keuangan maupun non keuangan. Kemudian, data itu diolah dan digunakan dalam proses pemeriksaan secara elektronis.
Hasil pengolahan itu, selanjutnya dipadukan dengan data dan informasi yang diperoleh dari entitas yang diperiksa. Pembentukan BPK Sinergi ini perlu dilakukan, mengingat entitas pemeriksaan BPK yang begitu banyak dan harus diperiksa dalam waktu singkat. Sementara, jumlah pemeriksa BPK per 1 Desember 2010 hanya sebanyak 2.717 orang. Dan, waktu pemeriksaan atas laporan keuangan dibatasi hanya dua bulan. Nah, dengan sinergi data tadi, pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih mudah, lebih efisien, dan lebih efektif.
Sebagai langkah awal untuk mempermudah pembentukan BPK Sinergi, BPK membuat kesepakatan bersama atau nota kesepahaman dengan pihak auditee. Hingga kini BPK sudah menjalin nota kesepahaman dengan enam Lembaga Negara, 29 Kementerian Negara/ Lembaga, dan empat BUMN. Menurut Hadi Poernomo, kesepakatan bersama ini bukan mengatur mengenai kewenangan atau perizinan akses oleh BPK atas data kementerian negara, lembaga negara ataupun BUMN. Sebab, sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 15 tahun 2004, BPK memang memiliki hak untuk meminta keterangan atau dokumen yang wajib diberikan oleh orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Bank Indonesia, BUMN, BLU, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan
Negara. Artinya, tanpa nota kesepahaman pun sebenarnya BPK tetap berwenang mengakses data ke pihak yang diperiksa. “Kesepakatan bersama ini hanya mengatur mengenai cara untuk mengakses data,” ujar Hadi Poernomo. Setelah BPK Sinergi berjalan, maka pemeriksa BPK dapat melakukan akses data pihak yang diperiksa hanya dari kantor BPK, melalui sistem informasi yang dikembangkan dan dikelola bersama oleh kedua pihak.
Dengan cara ini, pemeriksaan BPK akan semakin efisien dan efektif. Waktu yang digunakan auditor di entitas yang diperiksa untuk proses pengumpulan dan pengunduhan data akan dapat berkurang. Itu karena, sebagian atau bahkan seluruh data sudah bias diakses dari kantor BPK. Dengan terbentuknya
BPK Sinergi, efektifitas pemeriksaan BPK bisa terlaksana. Dengan begitu, optimalisasi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang transparan dan akuntabel pun dapat terwujud. Ujungnya, harapan akan berkurangnya KKN secara sistemik, terwujudnya optimalisasi penerimaan negara, dan pengeluaran negara yang efektif, akan semakin dekat dengan kenyataan. Keuangan Negara pun akan dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
BPK mengharapkan melalui BPK Sinergi tersebut akan memberikan manfaat yaitu:
1. mengurangi KKN secara sistemik;
2. mendukung optimalisasi penerimaan negara;
3. mendukung efisiensi dan efektifitas pengeluaran negara;
4. mengoptimalkan tindak lanjut temuan BPK; dan
5. mengoptimalkan pemeriksaan kinerja.